Ahmad Kholid
Dalam
rangka pencapaian agenda MDG’S yang terkait secara tidak langsung terhadap
kesehatan, penanganannya memerlukan lintas integrasi program dengan sektor
lain. Sebagaimana kita ketahui faktor sosial dapat berpengaruh terhadap kesehatan.
Hal ini ditunjukkan dengan adanya gap dalam tingkat pendidikan, pendapatan,
gender, kesulitan medan geografis, ketersediaan air bersih serta kesehatan
lingkungan yang dapat berdampak terhadap kesehatan. Sehingga untuk mengatasi
permasalahan kesehatan pada umumnya hanya akan terwujud bila Kementerian
Kesehatan bersama jajarannya selaku sektor yang bertanggungjawab, bersama
dengan berbagai pihak terkait (antara lain lintas sektor, pemerintah daerah,
profesi, akademisi, swasta, pendidikan lembaga swadaya masyarakat, donor
agencies, serta organisasi agama, organisasi kewanitaan, dll) secara bersama
untuk mencapai tujuan agenda MDG’S. Dan kesehatan yang demikian yang menjadi
dambaan setiap orang sepanjang hidupnya. Tetapi datangnya penyakit merupakan hal
yang tidak bisa ditolak meskipun kadang -kadang bisa dicegah atau dihindari.
Konsep
sehat dan sakit sesungguhnya tidak terlalu mutlak dan universal karena ada
faktor -faktor lain di luar kenyataan klinis yang mempengaruhinya terutama
faktor social budaya. Kedua pengertian saling mempengaruhi dan pengertian yang
satu hanya dapat dipahami dalam konteks pengertian yang lain. Banyak ahli
filsafat, biologi, antropologi, sosiologi, kedokteran, dan lain-lain bidang
ilmu pengetahuan telah mencoba memberikan pengertian tentang konsep sehat dan
sakit ditinjau dari masing-masing disiplin ilmu.
Masalah
sehat dan sakit merupakan proses yang berkaitan dengan kemampuan atau ketidakmampuan
manusia beradap -tasi dengan lingkungan baik secara biologis, psikologis maupun
sosio budaya (1). UU No.23,1992 tentang Kesehatan menyatakan bahwa: Kesehatan
adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan hidup
produktif secara sosial dan ekonomi. Dalam pengertian ini maka kesehatan
harus dilihat sebagai satu kesatuan yang
utuh terdiri dari unsur –unsur fisik, mental dan sosial dan di dalamnya
kesehatan jiwa merupakan bagian integral kesehatan.
Definisi
sakit: seseorang dikatakan sakit apabila ia menderita penyakit menahun
(kronis), atau gangguan kesehatan lain yang menyebabkan aktivitas
kerja/kegiatannya terganggu. Walaupun seseorang sakit (istilah sehari -hari)
seperti masuk angin, pilek, tetapi bila ia tidak terganggu untuk melaksanakan
kegiatannya, maka ia di anggap tidak sakit(2).
A. Masalah
Sehat Dan Sakit
Masalah
kesehatan merupakan masalah kompleks yang merupakan resultante dari berbagai
masalah lingkungan yang bersifat alamiah maupun masalah buatan manusia, social budaya,
perilaku, populasi penduduk, genetika, dan sebagainya. Derajat kesehatan masyarakat
yang disebut sebagai psycho socio somatic health well being , merupakan
resultante dari 4 faktor(3) yaitu:
- Environment
atau
lingkungan.
- Behaviour
atau
perilaku, antara yang pertama dan kedua d ihubungkan dengan ecological
balance.
- Heredity
atau
keturunan yang dipengaruhi oleh populasi, distribusi penduduk, dan sebagainya.
- Health
care service berupa program kesehatan yang bersifat
preventif, promotif, kuratif, dan rehabilitatif.
Dari
empat faktor tersebut di atas, lingkungan dan perilaku merupakan faktor yang
paling besar pengaruhnya (dominan) terhadap tinggi rendahnya derajat kesehatan
masyarakat. Tingkah laku sakit, peranan sakit dan peranan pasien sangat
dipengaruhi oleh faktor -faktor seperti kelas sosial, perbedaan suku bangsa dan
budaya. Maka ancaman kesehatan yang sama (yang ditentukan secara klinis),
bergantung dari variabel-variabel tersebut dapat menimbulkan reaksi yang berbeda
di kalangan pasien.
Pengertian
sakit menurut etiologi naturalistik dapat dijelaskan dari segi impersonal dan sistematik,
yaitu bahwa sakit merupakan satu keadaan atau satu hal yang disebabkan oleh
gangguan terhadap sistem tubuh manusia. Pernyataan tentang pengetahuan ini
dalam tradisi klasik Yunani, India, Cina, menunjukkan model keseimbangan (equilibrium
model) seseorang dianggap sehat apabila unsur - unsur utama yaitu panas
dingin dalam tubuhnya berada dalam keadaan yang seimbang. Unsur-unsur utama ini
tercakup dalam konsep tentang humors, ayurveda dosha, yin dan yang. Departemen
Kesehatan RI telah mencanangkan kebijakan baru berdasarkan paradigma sehat (4).
Paradigma
sehat adalah cara pandang atau pola pikir pembangunan
kesehatan yang bersifat holistik, proaktif antisipatif, dengan melihat masalah kesehatan
sebagai masalah yang dipengaruhi oleh banyak faktor secara dinamis dan lintas
sektoral, dalam suatu wilayah yang berorientasi kepada peningkatan pemeliharaan
dan perlindungan terhadap penduduk agar tetap sehat dan bukan hanya penyembuhan
penduduk yang sakit. Pada intinya paradigma sehat memberikan perhatian utama terhadap
kebijakan yang bersifat pencegahan dan promosi kesehatan, memberikan dukungan
dan alokasi sumber daya untuk menjaga agar yang sehat tetap sehat namun teta p
mengupayakan yang sakit segera sehat. Pada prinsipnya kebijakan tersebut menekankan
pada masyarakat untuk mengutamakan kegiatan kesehatan daripada mengobati
penyakit. Telah dikembangkan pengertian tentang penyakit yang mempunyai
konotasi biomedik dan sosio kultural(5). Dalam bahasa Inggris dikenal kata disease
dan illness sedangkan dalam bahasa Indonesia, kedua pengertian itu dinamakan
penyakit. Dilihat dari segi sosio cultural terdapat perbedaan besar antara
kedua pengertian tersebut. Dengan disease dimaksudkan gangguan fungsi
atau adaptasi dari proses-proses biologik dan psikofisiologik pada seorang individu,
dengan illness dimaksud reaksi personal, interpersonal, dan kultural
terhadap penyakit atau perasaan kurang nyaman (1).
Para
dokter mendiagnosis dan mengobati disease, sedangkan pasien mengalami illness
yang dapat disebabkan oleh disease illness tidak selalu disertai
kelainan organic maupun fungsional tubuh. Tulisan ini merupakan tinjauan
pustaka yang membahas pengetahuan sehat-sakit pada aspek sosial budaya dan perilaku
manusia; serta khusus pada interaksi antara beberapa aspek ini yang mempunyai
pengaruh pada kesehatan dan penyakit. Dalam konteks kultural, apa yang disebut
sehat dalam suatu kebudayaan belum tentu disebut sehat pula d alam kebudayaan lain.
Di sini tidak dapat diabaikan adanya faktor penilaian atau faktor yang erat hubungannya
dengan sistem nilai.
B. Konsep
Sehat Sakit Menurut Budaya Masyarakat
Istilah
sehat mengandung banyak muatan kultural, social dan pengertian
profesional yang beragam. Dulu dari sudut pandangan kedokteran, sehat sangat
erat kaitannya dengan kesakitan dan penyakit. Dalam kenyataannya tidaklah
seseder - hana itu, sehat harus dilihat dari berbagai aspek. WHO melihat sehat
dari berbagai aspek (6).
Definisi
WHO (1981): Health is a state of complete physical, mental and social well
-being, and not merely the absence of disease or infirmity. WHO
mendefinisikan pengertian sehat sebagai suatu keadaan sempurna baik jasmani,
rohani, maupun kesejahteraan social seseorang. Sebatas mana seseorang dapat
dianggap sempurna jasmaninya ?. Oleh para ahli kesehatan, antropologi kesehatan
di pandang sebagai disiplin biobudaya yang memberi perhatian pada aspek-aspek
biologis dan sosial budaya dari tingkah laku manusia, terutama tentang
cara-cara interaksi antara keduanya sepanjang sejarah kehidupan manusia yang mempengaruhi
kesehatan dan penyakit. Penyakit sendiri ditentukan oleh budaya: hal ini karena
penyakit merupakan pengakuan sosial bahwa seseorang tidak dapat menjalankan peran
normalnya secara wajar. Cara hidup dan gaya hidup manusia merupakan fenomena yang
dapat dikaitkan dengan munculnya berbagai macam penyakit, selain itu hasil
berbagai kebudayaan juga dapat menimbulkan penyakit.
Masyarakat
dan pengobat tradisional menganut dua konsep penyebab sakit, yaitu: Naturalistik
dan Personalistik. Penyebab bersifat Naturalistik yaitu
seseorang menderita sakit akibat pengaruh lingkungan, makanan (salah makan), kebiasaan
hidup, ketidak seimbangan dalam tubu h, termasuk juga kepercayaan panas dingin
seperti masuk angin dan penyakit bawaan. Konsep sehat sakit yang dianut
pengobat tradisional (Battra) sama dengan yang dianut masyarakat setempat,
yakni suatu keadaan yang berhubungan dengan keadaan badan atau kondisi tubuh
kelainan-kelainan serta gejala yang dirasakan. Sehat bagi seseorang berarti
suatu keadaan yang normal, wajar, nyaman, dan dapat melakukan aktivitas sehari –hari
dengan gairah. Sedangkan sakit dianggap sebagai suatu keadaan badan yang kurang
menyenangkan, bahkan dirasakan sebagai siksaan sehingga menyebabkan seseorang
tidak dapat menjalankan aktivitas sehari-hari seperti halnya orang yang sehat
(7).
Sedangkan
konsep Personalistik menganggap munculnya penyakit (illness) disebabkan
oleh intervensi suatu agen aktif yang dapat berupa makhluk bukan manusia
(hantu, roh, leluhur atau roh jahat), atau makhluk manusia (tukang sihir,
tukang tenung). Menelusuri nilai budaya, misalnya mengenai pengenalan kusta dan
cara perawatannya. Kusta telah dikenal oleh etnik Makasar sejak lama.
Adanya
istilah kaddala sikuyu (kusta kepiting) dan kaddala massolong (kusta
yang lumer), merupakan ungkapan yang mendukung bahwa kusta secara endemik telah
berada dalam waktu yang lama di tengah-tengah masyarakat tersebut(8).
Hasil
penelitian kualitatif dan kuantitatif atas nilai - nilai budaya di Kabupaten
Soppeng, dalam kaitannya dengan penyakit kusta (Kaddala,Bgs.) di
masyarakat Bugis menunjukkan bahwa timbul dan diamalkannya leprophobia secara
ketat karena menurut salah seorang tokoh budaya, dalam nasehat perkawinan
orang-orang tua di sana, kata kaddala ikut tercakup di dalamnya. Disebutkan
bahwa bila terjadi pelanggaran melakukan hubungan intim saat istri sedang haid,
mereka (kedua mempelai) akan terkutuk dan menderita kusta/kaddala.
Ide
yang bertujuan guna terciptanya moral yang agung di keluarga baru, berkembang
menuruti proses komunikasi dalam masyarakat dan menjadi konsep penderita kusta
sebagai penanggung dosa. Pengertian penderita sebagai akibat dosa dari
ibu-bapak merupakan awal derita akibat leprophobia. Rasa rendah diri
penderita dimulai dari rasa rendah diri keluarga yang merasa tercemar bila
salah seorang anggota keluarganya menderita kusta. Dituduh berbuat dosa
melakukan hubungan intim saat istri sedang haid bagi seorang fanatic Islam
dirasakan sebagai beban trauma psikosomatik yang sangat berat(8).
Orang
tua, keluarga sangat menolak anaknya didiagnosis kusta. Pada penelitian
Penggunaan Pelayanan Kesehatan Di Propinsi Kalimantan Timur dan Nusa Tenggara
Barat (1990), hasil diskusi kelompok di Kalimantan Timur menunjukkan bahwa anak
dinyatakan sakit jika menangis terus, badan berkeringat, tidak mau makan, tidak
mau tidur, rewel, kurus kering. Bagi orang dewasa, seseorang dinyatakan sakit
kalau sudah tidak bisa bekerja, tidak bisa berjalan, tidak enak badan, panas
dingin, pusing, lemas, kurang darah, batuk - batuk, mual, diare.
Sedangkan
hasil diskusi kelompok di Nusa Tenggara Barat menunjukkan bahwa anak sakit
dilihat dari keadaan fisik tubuh dan tingkah lakunya yaitu jika menunjukkan
gejala misalnya panas, batuk pilek, mencret, muntah -muntah, gatal, luka, gigi
bengkak, badan kuning, kaki dan perut bengkak. Seorang pengobat tradisional
yang juga menerima pandangan kedokteran modern, mempunyai pengetahuan yang
menarik mengenai masalah sakit-sehat. Baginya, arti sakit adalah sebagai
berikut: sakit badaniah berarti ada tanda - tanda penyakit di badannya seperti
panas tinggi, penglihatan lemah, tidak kuat bekerja, sulit makan, tidur terganggu,
dan badan lemah atau sakit, maunya tiduran atau istirahat saja. Pada penyakit
batin tidak ada tanda -tanda di badannya, tetapi bisa diketahui dengan menanyakan
pada yang gaib. Pada orang yang sehat, gerakannya lincah, kuat bekerja, suhu badan
normal, makan dan tidur normal, penglihatan terang, sorot mata cerah, tidak
mengeluh lesu, lemah, atau sakit - sakit badan(9).
Sudarti
(1987) menggambarkan secara deskriptif persepsi masyarakat beberapa daerah di
Indonesia mengenai sakit dan penyakit; masyarakat menganggap bahwa sakit adalah
keadaan individu mengalami serangkaian gangguan fisik yang menim - bulkan rasa
tidak nyaman. Anak yang sakit ditandai dengan tingkah laku rewel, sering
menangis dan tidak nafsu makan. Orang dewasa dianggap sakit jika lesu, tidak
dapat bekerja, kehilangan nafsu makan, atau "kantong kering" (tidak
punya uang).
Selanjutnya
masyarakat menggolongkan penyebab sakit ke dalam 3 bagian yaitu :
1. Karena
pengaruh gejala alam (panas, dingin) terhadap tubuh manusia
2. Makanan
yang diklasifikasikan ke dalam makanan panas dan dingin.
3. Supranatural
(roh, guna-guna, setan dan lain-lain.).
Untuk
mengobati sakit yang termasuk dalam golongan pertama dan ke dua, dapat
digunakan obat -obatan, ramuan - ramuan, pijat, kerok, pantangan m akan, dan
bantuan tenaga kesehatan. Untuk penyebab sakit yang ke tiga harus dimintakan
bantuan dukun, kyai dan lain-lain. Dengan demikian upaya penanggulangannya
tergantung kepada kepercayaan mereka terhadap penyebab sakit.
Beberapa contoh penyakit pada bayi dan anak sebagai
berikut :
1. Sakit
demam dan panas.
Penyebabnya adalah
perubahan cuaca, kena hujan, salah makan, atau masuk angin. Pengobatannya
adalah dengan cara mengompres dengan es, oyong, labu putih yang dingin atau beli
obat influensa. Di Indramayu dikatakan penyakit adem meskipun gejalanya panas
tinggi, supaya panasnya turun. Penyakit tampek (campak) disebut juga sakit adem
karena gejalanya badan panas.
2. Sakit
mencret (diare).
Penyebabnya adalah
salah makan, makan kacang terlalu banyak,
makan makanan pedas, makan udang, ikan, anak meningkat kepandaiannya, susu ibu
basi, encer, dan lain - lain. Penanggulangannya dengan obat tradisional
misalkan dengan pucuk daun jambu dikunyah ibunya lalu diberikan kepada anaknya
(Bima Nusa Tenggara Barat) obat lainnya adalah Larutan Gula Garam (LGG),
Oralit, pil Ciba dan lain -lain. Larutan Gula Garam sudah dikenal hanya
proporsi campurannya tidak tepat.
3. Sakit
kejang-kejang
Masyarakat pada umumnya
menyatakan bahwa sakit panas dan kejang-kejang disebabkan oleh hantu. Di
Sukabumi disebut hantu gegep, sedangkan di Sumatra Barat disebabkan hantu jahat.
Di Indramayu pengobatannya adalah dengan dengan pergi ke dukun atau memasukkan
bayi ke bawah tempat tidur yang ditutupi jaring.
4. Sakit
tampek (campak)
Penyebabnya adalah
karena anak terkena panas dalam, anak dimandikan saat panas terik, atau
kesambet. Di Indramayu ibu-ibu mengobatinya dengan membalur anak dengan asam kawak,
meminumkan madu dan jeruk nipis atau memberikan daun suwuk, yang menurut
kepercayaan dapat mengisap penyakit.
C. Kejadian
Penyakit
Penyakit
merupakan suatu fenomena kompleks yang berpengaruh negatif terhadap kehidupan
manusia. Perilaku dan cara hidup manusia dapat merupakan penyebab bermacam - macam
penyakit baik di zaman primitif maupun di masyarakat yang sudah sangat maju
peradaban dan kebudayaannya. Ditinjau dari segi biologis penyakit merupakan
kelainan berbagai organ tubuh manusia, sedangkan dari segi kemasyarakatan
keadaan sakit dianggap sebagai peny impangan perilaku dari keadaan sosial yang
normatif. Penyimpangan itu dapat disebabkan oleh kelainan biomedis organ tubuh
atau lingkungan manusia, tetapi juga dapat disebabkan oleh kelainan emosional
dan psikososial individu bersangkutan. Faktor emosional dan psikososial ini
pada dasarnya merupakan akibat dari lingkungan hidup atau ekosistem manusia dan
adat kebiasaan manusia atau kebudayaan (11).
Konsep
kejadian penyakit menurut ilmu kesehatan bergantung jenis penyakit. Secara umum
konsepsi ini ditentukan oleh berbagai faktor antara lain parasit, vektor,
manusia dan lingkungannya. Para ahli antropologi kesehatan yang dari
definisinya dapat disebutkan berorientasi ke ekologi, menaruh perhatian pada hubungan
timbal balik antara manusia dan lingkungan alamnya, tingkah laku penyakitnya
dan cara -cara tingkah laku penyakitnya mempengaruhi evolusi kebudayaannya
melalui proses umpan balik (Foster, Anderson, 1978) (12).
Penyakit
dapat dipandang sebagai suatu unsur dalam lingkungan manusia, seperti tampak
pada ciri sel-sabit (sickle-cell) di kalangan penduduk Afrika Barat,
suatu perubahan evolusi yang adaptif, yang memberikan imunitas relatif terhadap
malaria. Ciri sel sabit sama sekali bukan ancaman, bahkan merupakan
karakteristik yang diing inkan karena memberikan proteksi yang tinggi terhadap
gigitan nyamuk Anopheles. Bagi masyarakat Dani di Papua, penyakit dapat
merupakan simbol sosial positif, yang diberi nilai -nilai tertentu. Etiologi
penyakit dapat dijelaskan melalui sihir, tetapi juga sebagai akibat dosa.
Simbol sosial juga dapat merupakan sumber penyakit. Dalam peradaban modern,
keterkaitan antara symbol – symbol sosial dan risiko kesehatan sering tampak jelas,
misalnya remaja merokok.
Suatu
kajian hubungan antara psikiatri dan antropologi dalam konteks perubahan sosial
ditulis oleh Rudi Salan (1994) berdasarkan pengalaman sendiri sebagai
psikiater; salah satu kasusnya sebagai berikut: Seorang perempuan yang sudah
cukup umur reumatiknya diobati hanya dengan vitamin dan minyak ikan saja dan
percaya penyakitnya akan sembuh. Menurut pasien penyakitnya disebabkan karena
"darah kotor" oleh karena itu satu-satunya jalan penyembuhan adalah
dengan makan makanan yang bersih , yaitu `mutih' (ditambah vitamin seperlunya
agar tidak kekurang an vitamin) sampai darahnya menjadi bersih kembali. Bagi
seorang dokter pendapat itu tidak masuk akal, tetapi begitulah kenyataan yang
ada dalam masyarakat.
D. Perilaku
Sehat Dan Perilaku Sakit
Penelitian-penelitian
dan teori-teori yang dikembangkan oleh para antropolog seperti perilaku sehat (health
behavior), perilaku sakit (illness behavior) perbedaan antara illness
dan disease, model penjelasan penyakit (explanatory model ),
peran dan karir seorang yang sakit (sick role), interaksi
dokter-perawat, dokter-pasien, perawat-pasien, penyakit dilihat dari sudut
pasien, membuka mata para dokter bahwa kebenaran ilmu kedokteran modern tidak
lagi dapat dianggap kebenaran absolut dalam proses penyembuhan (13).
Perilaku
sakit diartikan sebagai segala bentuk tin dakan yang dilakukan oleh individu
yang sedang sakit agar memperoleh kesembuhan, sedangkan perilaku sehat adalah
tindakan yang dilakukan individu untuk memelihara dan meningkatkan kesehatannya,
termasuk pencegahan penyakit, perawatan kebersihan diri, penjagaan kebugaran
melalui olah raga dan makanan bergizi(14). Perilaku sehat diperlihatkan oleh
individu yang merasa dirinya sehat meskipun secara medis belum tentu mereka
betul-betul sehat. Sesuai dengan persepsi tentang sakit dan penyakit maka
perilaku sakit dan perilaku sehatpun subyektif sifatnya. Persepsi masyarakat
tentang sehat - sakit ini sangatlah dipengaruhi oleh unsur pengalaman masa lalu
di samping unsur sosial budaya. Sebaliknya petugas kesehatan berusaha sedapat
mungkin menerapkan kreter ia medis yang obyektif berdasarkan gejala yang tampak
guna mendiagnosis kondisi fisik individu.
E. Persepsi
Masyarakat Tentang Penyakit
Persepsi
masyarakat mengenai terjadinya penyakit berbeda antara daerah yang satu dengan
daerah yang lain, karena tergantung dari kebudayaan yang ada dan berkembang
dalam masyarakat tersebut. Persepsi kejadian penyakit yang berlainan dengan
ilmu kesehatan sampai saat ini masih ada di masyarakat; dapat turun dari satu
generasi ke generasi berikutnya dan bahkan dapat berkembang luas.
Berikut
ini contoh persepsi masyarakat tentang penyakit malaria, yang saat ini masih
ada di beberapa daerah pedesaan di Papua (Irian Jaya). Makanan pokok penduduk
Papua adalah sagu yang tumbuh di daerah rawa -rawa. Selain rawa-rawa, tidak
jauh dari mereka tinggal terdapat hutan lebat. Penduduk desa tersebut
beranggapan bahwa hutan itu milik penguasa gaib yang dapat menghukum setiap
orang yang melanggar ketentuannya. Pelanggaran dapat berupa menebang, membabat
hutan untuk tanah pertanian, dan lain-lain akan diganjar hukuman berupa
penyakit dengan gejala demam tinggi, menggigil, dan muntah. Penyakit tersebut
dapat sembuh dengan cara minta ampun kepada penguasa hutan, kemudian memetik
daun dari pohon tertentu, dibuat ramuan untuk di minum dan dioleskan ke seluruh
tubuh penderita. Dalam beberapa hari penderita akan sembuh.
Persepsi
masyarakat mengenai penyakit diperoleh dan ditentukan dari penuturan sederhana
dan mudah secara turun temurun. Misalnya penyakit akibat kutukan Allah, makhluk
gaib, roh-roh jahat, udara busuk, tanaman berbisa, binatang, dan sebagainya. Pada
sebagian penduduk Pulau Jawa, dulu penderita demam sangat tinggi diobati dengan
cara menyiram air di malam hari. Air yang telah diberi ramuan dan jampi –jampi oleh
dukun dan pemuka masyarakat yang disegani digunakan sebagai obat malaria.
F. Kesehatan
dalam Sosial Budaya
Seperti
kita ikuti bersama, akhir-akhir ini diskusi tentang global change banyak
diangkat. Berbagai perubahan sosial, ekonomi, budaya, teknologi dan politik
mengharuskan jalinan hubungan di antara masyarakat manusia di seluruh dunia.
Fenomena ini dirangkum dalam terminologi globalisation. Ditengah riuh rendah
globalisasi inilah muncul wacana Dampak Perubahan Sosial dan Budaya. Dampak
dari perubahan sosial dan budaya sendiri diartikan sebagai perubahan dalam
skala besar pada sistem bio-fisik dan ekologi yang disebabkan aktifitas
manusia. Perubahan ini terkait erat dengan sistem penunjang kehidupan planet
bumi (life-support system). Ini
terjadi melalui proses historis panjang dan merupakan agregasi pengaruh
kehidupan manusia terhadap lingkungan, yang tergambar misalnya pada angka
populasi yang terus meningkat, aktifitas ekonomi, dan pilihan-pilihan teknologi
dalam memacu pertumbuhan ekonomi. Saat ini pengaruh dan beban terhadap
lingkungan hidup sedemikian besar, sehingga mulai terasa gangguan-gangguan
terhadap Sistem Bumi kita.
Perubahan
sosial dan budaya yang terjadi seiring tekanan besar yang dilakukan manusia
terhadap sistem alam sekitar, menghadirkan berbagai macam risiko kesehatan dan
kesejahteraan bagi seluruh umat manusia. Sebagai contoh, kita terus
mempertinggi konsentrasi gas-gas tertentu yang menyebabkan meningkatkan efek
alami rumah kaca (greenhouse) yang
mencegah bumi dari pendinginan alami (freezing).
Selama abad 20 ini, suhu rata-rata permukaan bumi meningkat sekitar 0,6oC dan
sekitar dua-per-tiga pemanasan ini terjadi sejak tahun 1975. Dampak perubahan
sosial dan budaya penting lainnya adalah menipisnya lapisan ozon, hilangnya
keaneragaman hayati (bio-diversity),
degradasi kualitas lahan, penangkapan ikan melampaui batas (over-fishing), terputusnya siklus
unsur-unsur penting (misalnya nitrogen, sulfur, fosfor), berkurangnya suplai
air bersih, urbanisasi, dan penyebaran global berbagai polutan organik. Dari
kacamata kesehatan, hal-hal di atas mengindikasikan bahwa kesehatan umat
manusia dipengaruhi oleh berbagai faktor yang terjadi di luar batas kemampuan
daya dukung ruang lingkungan dimana mereka hidup.
Dalam
skala global, selama seperempat abad ke belakang, mulai tumbuh perhatian serius
dari masyarakat ilmiah terhadap penyakit-penyakit yang terkait dengan masalah
lingkungan, seperti kanker yang disebabkan racun tertentu (toxin related cancers), kelainan reproduksi atau gangguan
pernapasan dan paru-paru akibat polusi udara. Secara institusional
International Human Dimensions Programme on Global Environmental Change (IHDP)
membangun kerjasama riset dengan Earth
System Science Partnership dalam menyongsong tantangan permasalahan
kesehatan dan Dampak dari perubahan sosial dan budaya.
Pengaruh
perubahan iklim global terhadap kesehatan umat manusia bukan pekerjaan mudah.
Dibutuhkan kerja keras dan pendekatan inter-disiplin diantaranya dari studi
evolusi, bio-geografi, ekologi dan ilmu sosial. Di sisi lain kemajuan teknik
penginderaan jauh (remote sensing)
dan aplikasi-aplikasi sistem informasi geografis akan memberikan sumbangan
berarti dalam melakukan monitoring lingkungan secara multi-temporal dan
multi-spatial resolution. Dua faktor ini sangat relevan dengan tantangan studi
dampak perubahan sosial dan budaya terhadap kesehatan lingkungan yang
memerlukan analisa historis keterkaitan dampak perubahan sosial dan budaya dan
kesehatan serta analisa pengaruh perubahan sosial dan budaya di tingkat lokal,
regional hingga global.
G. Perubahan
Sosial dan Budaya Mempengaruhi Kesehatan
Ada
tiga alur tingkatan pengaruh perubahan sosial dan budaya terhadap kesehatan.
Pengaruh ini dari urutan atas ke bawah menunjukkan peningkatan kompleksitas dan
pengaruhnya bersifat semakin tidak langsung pada kesehatan. Pada alur paling
atas, terlihat bagaimana perubahan pada kondisi mendasar lingkungan fisik
(contohnya: suhu ekstrim atau tingkat radiasi ultraviolet) dapat mempengaruhi
biologi manusia dan kesehatan secara langsung (misalnya sejenis kanker kulit).
Alur pada dua tingkatan lain, di tengah dan bawah, mengilustrasikan
proses-proses dengan kompleksitas lebih tinggi, termasuk hubungan antara
kondisi lingkungan, fungsi-fungsi ekosistem, dan kondisi sosial-ekonomi.
Alur
tengah dan bawah menunjukkan tidak mudahnya menemukan korelasi langsung antara
perubahan lingkungan dan kondisi kesehatan. Akan tetapi dapat ditarik benang
merah bahwa perubahan-perubahan lingkungan ini secara langsung atau tidak
langsung bertanggung jawab atas faktor-faktor penyangga utama kesehatan dan
kehidupan manusia, seperti produksi bahan makanan, air bersih, kondisi iklim,
keamanan fisik, kesejahteraan manusia, dan jaminan keselamatan dan kualitas
sosial. Para praktisi kesehatan dan lingkungan pun akan menemukan banyak domain
permasalahan baru di sini, menambah deretan permasalahan pemunculan
toksi-ekologi lokal, sirkulasi lokal penyebab infeksi, sampai ke pengaruh
lingkungan dalam skala besar yang bekerja pada gangguan kondisi ekologi dan
proses penyangga kehidupan ini. Jelaslah bahwa resiko terbesar dari dampak
perubahan sosial dan budaya atas kesehatan dialami mereka yang paling rentan
lokasi geografisnya atau paling rentan tingkat sumber daya sosial dan
ekonominya.
H.
Aktifitas Penduduk bagi Kesehatan
Sebagaimana
disinggung di atas, masyarakat manusia sangat bervariasi dalam tingkat
kerentanan terhadap serangan kesehatan. Kerentanan ini merupakan fungsi dari
kemampuan masyarakat dalam beradaptasi terhadap perubahan iklim dan lingkungan.
Kerentanan juga bergantung pada beberapa faktor seperti kepadatan penduduk,
tingkat ekonomi, ketersediaan makanan, kondisi lingkungan lokal, kondisi
kesehatannya itu sendiri, dan kualitas serta ketersediaan fasilitas kesehatan
publik.
Wabah
demam berdarah yang melanda negeri kita menyiratkan betapa rentannya kondisi
kesehatan-lingkungan di Indonesia saat ini, baik dilihat dari sisi antisipasi
terhadap wabah, kesigapan peanggulangannya sampai pada penanganan para
penderita yang kurang mampu. Merebaknya wabah di kawasan urban juga menyiratkan
kerentanan kondisi lingkungan dan kerentanan sosial-ekonomi. Hal ini terkait
dengan patron penggunaan lahan, kepadatan penduduk, urbanisasi, meningkatnya
kemiskinan di kawasan urban, selain faktor lain seperti rendahnya pemberantasan
nyamuk vektor penyakit sejak dini, atau resistensi nyamuk sampai kemungkinan
munculnya strain atau jenis virus baru.
Pada
dekade lalu penelitian ilmiah yang menghubungkan pengaruh perubahan iklim
global terhadap kesehatan dapat dirangkum dalam tiga katagori besar. Pertama,
studi-studi empiris untuk mencari saling-hubungan antara kecenderungan dan
variasi iklim dengan keadaan kesehatan. Kedua, studi-studi untuk mengumpulkan
bukti-bukti munculnya masalah kesehatan sebagai akibat perubahan iklim. Ketiga,
studi-studi pemodelan kondisi kesehatan di masa depan. Penelitian empiris jenis
pertama dan kedua dimanfaatkan untuk mengisi kekosongan pengetahuan serta
memperkirakan kondisi kesehatan sebagai tanggapan terhadap perubahan iklim dan
lingkungan (scenario-based health risk
assessment).
Akan
tetapi, menimbang variasi kerentanan sosial-ekonomi yang telah kita singgung,
keberhasilan sumbangan ilmiah di atas hanya akan optimal jika didukung paling
tidak dua faktor lain, yaitu faktor administratif-legislatif dan faktor
cultural-personal (kebiasaan hidup). Administrasi-legislasi adalah pembuatan
aturan yang memaksa semua orang atau beberapa kalangan tertentu untuk melakukan
tindakan-tindakan preventif dan penanggulangan menghadapi masalah ini. Cakupan
kerja faktor ini adalah dari mulai tingkatan supra-nasional, nasional sampai
tingkat komunitas tertentu. Selanjutnya secara kultural-personal masyarakat
didorong secara sadar dan sukarela untuk melakukan aksi-aksi yang mendukung
kesehatan-lingkungan melalui advokasi, pendidikan atau insentif ekonomi. Faktor
ini dikerjakan dari tingkatan supra-nasional sampai tingkat individu.
I. Upaya
yang Dapat Dilakukan
Aktifitas
penelitian yang menghubungkan kajian lingkungan dan kesehatan secara integral
serta kerja praktis sistematis dari hasil penelitian ilmiah di atas masih
sangat sedikit dilakukan di Indonesia. Menghadapi tantangan lingkungan dan
kesehatan ini diperlukan terobosan-terobosan institusional baru diantara
lembaga terkait lingkungan hidup dan kesehatan, misalnya dilakukan rintisan
kerjasama intensif yang diprakarsai Departemen Kesehatan, Departemen Sosial dan
Kementerian Lingkungan Hidup bersama lembaga penyedia data keruangan seperti
Bakosurtanal (pemetaan) dan LAPAN (analisa melalui citra satelit). Untuk
mewujudkan kerjasama di tataran praktis komunitas atau LSM pemerhati lingkungan
hidup mesti berkolaborasi dengan Ikatan Dokter Indonesia bersama asosiasi
profesi seperti Ikatan Surveyor Indonesia (ISI), Masyarakat Penginderaan Jauh
(MAPIN) dalam mewujudkan agenda-agenda penelitian dan program-program
penanganan permasalahan kesehatan dan perubahan lingkungan di tingkat lokal
hingga nasional.
Hadirnya
wacana dan penelitian sosial budaya dengan kompleksitas, ketidakpastian
konsep-metodologi, dan perubahan-perubahan besar di masa depan, telah
menghadirkan tantangan-tantangan dan tugas-tugas bagi komunitas ilmiah,
masyarakat dan para pengambil keputusan. Penelitian ilmiah yang cenderung
lamban, kini harus berganti dengan usaha-usaha terarah dan cepat menghadapi
urgensi penanganan masalah kesehatan-lingkungan. Kemudian dalam gerak cepat
pula informasi yang dihasilkan dunia ilmiah, walaupun dengan segala
ketidaksempurnaan dan asumsi-asumsi, didorong untuk memasuki arena kebijakan.
Masalah kesehatan dan GEC ini merupakan isu krusial dan bahkan isu sentral
dalam diskursus internasional seputar pembangunan yang berkelanjutan.
Referensi :
1.
Biro
Pusat Statistik. Profil Statistik Wanita, Ibu dan Anak di Indonesia. Jakarta,
1994.
2.
Blum
HL. Planning for Health; Developme nt Application of Social Change Theory. ,
New York: Human Science Press, 1972. p.3.
3.
Arie
Walukow. Dari Pendidikan Kesehatan ke Promosi Kesehatan. Interaksi 2004; VI
(XVII):4
4.
Profil
Pengobat Tradisional di Indonesia. Dir. Bina Peran Serta Masy., DirJen. Pembinaan
Kes.Mas.. Departemen Kesehatan RI. 1997. hal. 4.
5.
Ngatimin,
HM.Rusli. Dari Nilai Budaya Bugis di Sulawesi Selatan. Apakah kusta ditakuti
atau dibenci?. Lembaga Pengabdian Masyarakat Universitas Hasanuddin, Ujung
Pandang. 1992.
6. Nizar
Zainal Abidin. Laporan Penelitian Pengobatan Tradisional Daerah Bandung.
Disajikan pada Lokakarya II tentang Penelitian Pengobatan Tradisional. Ciawi,
22-24 Februari 1993.
7. Loedin
AA. Dalam:Lumenta B.Penyakit, Citra Alam dan Budaya. Tinjauan Fenomena Sosial.
Cet.pertama Penerbit Kanisius, 1989. hal.7-8.
8. Priyanti
Pakan, MF.Hatta Swa sono. Antropologi Kesehatan. Jakarta: Percetakan
Universitas Indonesia, 1986.
9.
Rudi
Salan. Interface Psikiatri Antropologi. Suatu kajian hubungan antara psikiatri
dan antropologi dalam konteks perubahan sosial. Disampaikan dalam Seminar
Perilaku dan Penyakit dalam Konteks Perubahan Sosial. Kerjasama Program
Antropologi Kesehatan Jurusan Antropologi Fisip UI dengan Ford Foundation,
Jakarta 24 Agustus 1994. hal 13.
10.
Solita
Sarwono. Sosiologi Kesehatan: beberapa konsep beserta aplikasinya. Gajah Mada
University Press. Cet. pertama, 1993. hal. 31-36.
11. WHO.
The Otta wa Charter for Health Promotion,1986.