By: Ahmad Kholid
PENDAHULUAN
Latar
Belakang
Human Immunodeficiency Virus / Acquired Immun Deficiency Syndrome (HIV/AIDS)
merupakan masalah yang harus mendapatkan perhatian yang lebih serius oleh semua
pihak, bukan saja pemerintah tetapi seluruh lapisan masyarakat. Hal ini
mengingat HIV/AIDS masih tetap menjadi hal yang pelik, tidak tersembuhkan dan
menghancurkan individu, masyarakat dan bangsa (Depkes RI, 2006).
Sejak awal epidemi HIV/AIDS, sekitar 60 juta orang
telah terinfeksi HIV/AIDS dan sekitar 20 juta di antaranya meninggal dan
menjadikannya sebagai penyakit paling mematikan dalam sejarah. World Health
Organization (WHO) tahun 2005 melaporkan bahwa lebih dari 150 negara di
dunia mengalami epidemi HIV/AIDS. Dari angka kejadian HIV/AIDS, diketahui
jumlah orang yang hidup dengan penderita HIV/AIDS (ODHA) sebanyak 40,3 juta
jiwa, sedangkan jumlah yang terinfeksi HIV/AIDS baru sebanyak 4,9 juta jiwa
(Berhane, 2006).
Di Asia Tenggara, proporsi prevalensi HIV/AIDS orang
dewasa Asia Tenggara mencapai 0,7%, yang tersebar di Negara Kamboja, Thailand,
Myanmar dan beberapa bagian negara India yang penduduknya padat, seperti
Maharashtra dan Tamil Nadu. Di Indonesia, epidemi HIV/AIDS saat ini sangat
memprihatinkan. Indonesia bahkan sudah tergolong sebagai negara dengan tingkat
epidemi terkonsentrasi. Hal tersebut mengandung arti bahwa HIV/AIDS sudah cukup
tinggi (>5%) pada daerah dan kelompok masyarakat tertentu. Jumlah kumulatif
pengidap infeksi HIV/AIDS di seluruh Indonesia pada akhir Desember 2007 telah
mencapai 17207 kasus, yang terdiri dari 6066 HIV dan 11141 AIDS dengan jumlah
kematian sebanyak 2369 orang (Depkes RI, 2007).
Jumlah penderita
HIV/AIDS di seluruh kabupaten/kota di Indonesia pada 2010 diperkirakan
mencapai 93 ribu sampai 130 ribu orang. Menurut National Trainer Care, Support and Treatment IMAI-HIV/AIDS, dr
Ronald Jonathan MSc, pada seminar dua hari Global
Diseases 2nd Continuing Professional Development, di Bandarlampung,
Sabtu dan Minggu, angka itu diperoleh berdasarkan perkiraan pengaduan penderita
terinfeksi HIV/AIDS ke sejumlah rumah sakit, yang berjumlah tidak lebih dari
sepersepuluh korban terinfeksi keseluruhan. Jumlah penderita HIV/AIDS di
seluruh Indonesia sejak 1980-an hingga September 2009 yang terdata oleh
Departemen Kesehatan mencapai 18.442 penderita, dengan perbandingan jumlah
penderita laki-laki dan perempuan sebesar tiga berbanding satu. Sudah ada
pergeseran pola penyebaran, kini penyeberan terbesar terjadi lewat hubungan
seks, bukan lagi penggunaan jarum suntik. Hampir 50 persen dari penyebaran
virus HIV/AIDS terjadi melalui hubungan seksual,dan melalui jarum suntik (pada
pengguna narkoba) mencapai 40,7 persen berdasarkan riset terhadap jumlah total
penderita. Sementara itu, penyebaran virus HIV/AIDS pada gay, waria dan
transgender hanya mencapai 3-4 persen dari jumlah total penderita. Rentan usia
tertinggi penderita HIV/AIDS hingga saat ini masih tetap berada pada usia
produktif yaitu 20-39 tahun.
Menurut PKBI
Jawa Tengah (2010), penderita HIV di seluruh kota dan kabupaten adalah sebagai
berikut :
Sumber: PKBI Jawa Tengah (2010)
Pelayanan VCT penting untuk penderita
HIV/AIDS dan orang yang berisiko terinfeksi HIV/AIDS. Studi-studi menunjukkan
bahwa VCT dapat mengubah perilaku seksual untuk mencegah penularan HIV. Dengan
memberikan pelayanan VCT terdapat penurunan morbiditas ODHA (Orang Dengan
HIV/AIDS). VCT juga dapat mengurangi stigma dan penyangkalan serta mempromosi
normalisasi. Makin luas ketersediaan pelayanan VCT, maka makin meningkat orang
yang sadar akan status HIV-nya, sehingga mengurangi penularan secara cepat
(Depkes RI, 2006).
Masyarakat masih memberikan stigma dan diskriminasi kepada
penderita HIV / AIDS. Faktor-faktor
yang menimbulkan stigma dan
diskriminasi di masyarakat adalah karena penyakit HIV / AIDS dapat mengancam jiwa, informasi
yang kurang tepat mengenai penyakit HIV / AIDS dan adanya
kepercayaan dimasyarakat bahwa penyakit ini adalah merupakan suatu “hukuman”
atas perbuatan yang melanggar moral atau tidak bertanggungjawab sehingga
penderita HIV / AIDS itu “pantas”
untuk menerima perlakuan-perlakuan yang tidak selayaknya mereka dapatkan.
Adanya ketakutan, stigmatisasi dan
diskriminasi menimbulkan dampak penolakan dari masyarakat bahkan penolakan dari
akses pendidikan dan kesehatan. Tindakan penolakan itu bisa berupa sekedar
ucapan hingga berupa penyiksaan psikologis dan fisik yang traumatis. Trauma
yang diterima penderita HIV menjadi bertumpuk-tumpuk, selain trauma karena tahu
yang akan terjadi pada tubuhnya bila menderita HIV, juga trauma karena adanya
stigma dan diskriminasi yang melekat terus sepanjang hidupnya.
Perkembangan penelitian obat-obatan
antiretroviral maupun penelitian obat-obatan peningkat sistem imun mampu
mengurangi dampak buruk dari penyakit ini. Seharusnya, penderita HIV bisa
diperlakukan yang sama dengan pengindap virus yang lain. Bukankah virus Flu
Babi lebih menakutkan karena bisa menular tanpa adanya kontak fisik sekalipun.
Fakta sudah membuktikan bahwa disaat ini HIV / AIDS sudah menjadi
penyakit yang dapat dicegah dan diterapi maka diharapkan perubahan
perilaku penolakan, stigma dan diskriminasi akan dapat dikurangi.
STIGMA HIV /
AIDS
A.
HIV / AIDS
Acquired
Immunodeficiency Syndrome atau Acquired
Immune Deficiency Syndrome (disingkat AIDS) adalah sekumpulan gejala dan
infeksi (atau: sindrom) yang timbul karena rusaknya sistem kekebalan tubuh
manusia akibat infeksi virus HIV; atau infeksi virus-virus lain yang mirip yang
menyerang spesies lainnya (SIV, FIV, dan lain-lain) (UNAIDS, 2002).
Virusnya
sendiri bernama Human Immunodeficiency
Virus (atau disingkat HIV) yaitu virus yang memperlemah kekebalan pada
tubuh manusia. Orang yang terkena virus ini akan menjadi rentan terhadap
infeksi oportunistik ataupun mudah terkena tumor. Meskipun penanganan yang
telah ada dapat memperlambat laju perkembangan virus, namun penyakit ini belum
benar-benar bisa disembuhkan (UNAIDS, 2002).
HIV
menular melalui:
- Bersenggama yang membiarkan darah, air mani, atau
cairan vagina dari orang HIV-positif masuk ke aliran darah orang yang
belum terinfeksi (yaitu senggama yang dilakukan tanpa kondom melalui
vagina atau dubur; juga melalui mulut, walau dengan kemungkinan kecil).
- Memakai jarum suntik yang bekas pakai orang lain, dan
yang mengandung darah yang terinfeksi HIV.
- Menerima transfusi darah yang terinfeksi HIV.
- Dari ibu HIV-positif ke bayi dalam kandungan, waktu
melahirkan, dan jika menyusui sendiri.
B.
Stigma
Stigma adalah ciri negatif yang menempel pada pribadi seseorang karena
pengaruh lingkungannya (Kamus Bahasa Indonesia, 2009).
Hukuman sosial atau stigma oleh masyarakat di berbagai belahan dunia
terhadap pengidap AIDS terdapat dalam berbagai cara, antara lain
tindakan-tindakan pengasingan, penolakan, diskriminasi, dan penghindaran atas
orang yang diduga terinfeksi HIV; diwajibkannya uji coba HIV tanpa mendapat
persetujuan terlebih dahulu atau perlindungan kerahasiaannya; dan penerapan
karantina terhadap orang-orang yang terinfeksi HIV (Aminatun, 2003).
C.
Tipe Stigma
Stigma AIDS lebih jauh dapat dibagi menjadi tiga
kategori : (1) Stigma instrumental AIDS - yaitu refleksi ketakutan dan
keprihatinan atas hal-hal yang berhubungan dengan penyakit mematikan dan
menular. (2) Stigma simbolis AIDS - yaitu penggunaan HIV/AIDS untuk
mengekspresikan sikap terhadap kelompok sosial atau gaya hidup tertentu yang
dianggap berhubungan dengan penyakit tersebut. (3) Stigma kesopanan AIDS -
yaitu hukuman sosial atas orang yang berhubungan dengan isu HIV/AIDS atau orang
yang positif HIV.
Menurut Goffman, stigma dibagi menjadi tiga tipe. Tipe pertama yakni
stigma terhadap kecacatan pada tubuh, yakni stigma dikenalkan karena adanya
kecacatan fisik pada tubuh. Stigma yang kedua yakni stigma terhadap buruknya
perilaku seseorang. Stigma ini biasanya dikenakan kepada orang-orang yangn
dipenjara, alkoholik, dan orang yang memiliki kesehatan mental yang buruk.
Stigma ketiga disebut dengan tribal stigma. Stigma ini dikenakan berdasarkan ke
dalam kelompok mana seseorang memiliki afiliasi. Sebagai contoh, seseorang
berafiliasi kepada suatu kelompok berdasarkan ras, agama, orientasi seksual,
dan etnis.
Ketiga stigma dimuka memiliki perbedaan dengan stigma HIV/AIDS, karena
stigma ini terkait pada suatu penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan
berujung pada kematian. Stigma timbul karena adanya rasa takut tertular, dan
seiring pemahaman yang berkembang tentang penyakit ini, stigma beergeser pada
perilaku high-risk yang dapat menyebabkan seseorang terjangkiti virus tersebut
dan juga dipandang tidak bermoral, sehingga para ODHA dirasa patut untuk
menderita penyakit mematikan ini (Stein, 2003).
Kesamaan antara stigma yang dijelaskan oleh Goffman dengan stigma HIV
yakni, stigma merupakan penilaian, pernyataan atau tanda negatif yang
diatribusikan kepada seseorang. Proses stigmatisasi memiliki efek negatif
terhadap orang yang terstigmatisasi dan objek stigma yang spesifik, sehingga
individu akan terisolasi dari masyarakat. Disisi lain stigma terkait AIDS juga
dapat terasosiasi dengan tipe stigma lain yang berhubungan erat dengan
transmisi HIV, yakni stigma berdasarkan pelanggaran norma sosial, penggunaan
narkoba suntik, kelompok etnis minoritas, ataupun orientasi seksualitas (Stein,
2003).
D.
Dimensi
Stigma dan Diskriminasi
Dimensi stigma menurut Jones terdapat
enam (dalam Breitkopf, 2004), yakni:
1.
Concealability, yakni sampai sejauh mana suatu kondisi dapat disembunyikan
atau tidak tampak oleh orang lain.
2.
Course, menjelaskan bagaimana kondisi terstigmatisasi berubah dari
waktu ke waktu.
3.
Strains, menjelaskan bagaimana hubungan interpersonal seseorang
menjadi tegang.
4.
Aesthetic
Qualities, menjelaskan bagaimana penampilan
seseorang sangat dipengaruhi oleh kondisi stigmatisasi.
5.
Cause, menjelaskan apakah seseorang mengalami stigmatisasi karena
bawaan dari lahir atau didapatkan.
6.
Peril, menjelaskan kemungkinan keberbahayaan pada orang lain
terkait dengan kondisi terstigmatisasi.
Diskriminasi yaitu sejumlah perilaku
yang membedakan seseorang berdasarkan keanggotaan dari suatu kelompok sosial.
Diskriminasi terdiri atas tiga bentuk yaitu, blatant, subtle, dan covert,
misalnya dlam interaksi personal, institusional, organisasional dan budaya.
Berikut ini merupakan penjelasan dari ketiga bentuk diskriminasi :
1.
Blatant
Discrimination, yaitu sejumlah perilaku yang tidak
menyamakan dan bersifat berbahaya, yang ditujukan kepada seseorang. Tipe ini
bersifat intensional, relatif dapat dilihat, dan dapat dengan mudah
didokumentasikan. Sebagai contoh, seorang pria berkulit hitam, diikat dengan
rantai di belakang truk dan ditarik sepanjang jalan di Texas hingga dia
meninggal.
2.
Subtle
Discrimination, merupakan sejumlah perilaku yang
mendeskreditkan dan bersifat berbahaya. Tipe ini bersifat kurang nyata dan
terlihat dibandingkan dengan tipe blatant discrimination. Hal ini sering
menjadi bukan perhatian karena orang telah menginternalisasi diskriminasi ini
sebagai sesuatu yang normal, natural ataupun hal yang biasa. Subtle
discrimination lebih sulit untuk didokumentasikan, dan tidak bersifat
intensional. Walaupun demikian, kemungkinan besar diskriminasi ini lebih sering
terjadi. Sebagai contoh, seorang guru tidak memberikan perhatian kepada bakat
anak kecil berkulit hitam di bidang seni. Anak ini walaupun masih duduk di
kelas tiga, tapi dia dapat menghasilkan karya-karya yang orisisnil. Guru
tersebut menganggap bahwa bakat tersebut tidaklah mungkin dimiliki oleh anak
itu. Anak ini memiliki masalah membaca yang juga dimiliki oleh anak-anak kulit
hitam lainnya di Amerika. Karakteristik inilah yang justru lebih terlihat dan
disadari dari anak tersebut dibandingkan bakatnya dibidang seni.
3.
Covert
Discrimination, sejumlah perilaku yang tidak
menyamakan dan bersifat berbahaya, yang biasanya disembunyikan, bertujuan dan
seringnya dimotivasi oleh keinginan jahat. Perilaku ini sangat sulit untuk
didokumentasikan. Sebagai contoh, suatu perusahaan yang didalam peraturannya
tidak menginginkan adanya diskriminasi, terjadi praktek membebani segolongan
orang tertentu berdasarkan ras, dengan menyuruh menyelesaikan sejumlah
pekerjaan yang lebih banyak dibandingkan orang lain namun harus diselesaikan
dalam tenggang waktu yang sama.
E.
Stigma
Masyarakat Indonesia Terhadap Penderita HIV / AIDS dan Solusinya
Sebelum membahas
lebih lanjut mengenai stigma yang terkait dengan HIV/AIDS peneliti akan
terlebih dahulu membahas pengertian stigma itu sendiri. Stigma merupakan kata
yang berasal dari bahasa Yunani yang merujuk pada sebauh tato yang dikenakan
pada tubuh seseorang dikarenakan ia telah melakukan beberapa tindak kejahatan.
Tanda tersebut menunjukkan juga adanya penurunan dan rusaknya moral seseorang,
sehingga patut untuk dijauhi. Stigmatisasi ini biasanya dikenakan untuk
mendiskreditkan seseorang berdasarkan agama, ras, dan gender. Stigma ini
ditujukan pada hal-hal yang memalukan yang dimilliki oleh seseorang. Pada
awalnya stigma juga tidak dikaitkan dengan penyakit yang diidap ataupun
perilaku yang dimiliki, namun semenjak AIDS dan HIV ditemukan, stigmatisasi
juga dikenakan kepada para ODHA.
Beberapa fenomena
yang terjadi di masyarakat terkait dengan stigma kepada penderita HIV / AIDS
dan solusi yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut :
1. Ketakutan
akan Stigma dan Diskriminasi, kendala utama penanganan HIV/AIDS
Masyarakat masih
memberikan stigma dan
diskriminasi kepada penderita HIV / AIDS.
Faktor-faktor yang menimbulkan stigma
dan diskriminasi di masyarakat adalah karena penyakit HIV / AIDS dapat mengancam jiwa, informasi
yang kurang tepat mengenai penyakit HIV / AIDS
dan adanya kepercayaan dimasyarakat bahwa penyakit ini adalah merupakan suatu
“hukuman” atas perbuatan yang melanggar moral atau tidak bertanggungjawab sehingga
penderita HIV / AIDS
itu “pantas” untuk menerima perlakuan-perlakuan yang tidak selayaknya mereka
dapatkan. Adanya ketakutan, stigmatisasi
dan diskriminasi menimbulkan dampak penolakan dari masyarakat bahkan penolakan
dari akses pendidikan dan kesehatan. Tindakan penolakan itu bisa berupa sekedar
ucapan hingga berupa penyiksaan psikologis dan fisik yang traumatis. Trauma
yang diterima penderita HIV menjadi bertumpuk-tumpuk, selain trauma karena tahu
yang akan terjadi pada tubuhnya bila menderita HIV, juga trauma karena adanya
stigma dan diskriminasi yang melekat terus sepanjang hidupnya.
Ketakutan tidak
diterima masyarakat dan ditolak dimana-mana bisa menghambat kemauan para resiko
tinggi menderita HIV dan orang yang dicurigai menderita HIV untuk dilakukan
pemeriksaan. Mereka tidak ingin tahu dan tidak mau tahu kalau mereka menderita
HIV. Padahal kemauan secara sadar untuk mendatangi fasilitas untuk mengetes
positif tidaknya orang ini sangat dibutuhkan saat ini. Perkembangan di bidang
kesehatan memberikan kemudahan pengetesan HIV yang sebanding dengan pengetesan
gula darah, dimana Rapid Test HIV dapat dilakukan hanya dengan menggunakan
sedikit darah dapat dilakukan ditingkat Puskesmas tertentu. Akan menjadi
percuma dibangunnya klinik VCT di tiap RSUD dan puskesmas berbasis reproduksi
bila stigma dan diskriminasi masih saja menghantui para resiko tinggi HIV/AIDS
untuk menggunakan fasilitas ini.
Perkembangan
penelitian obat-obatan antiretroviral maupun penelitian obat-obatan peningkat
sistem imun mampu mengurangi dampak buruk dari penyakit ini. Seharusnya,
penderita HIV bisa diperlakukan yang sama dengan pengindap virus yang lain.
Bukankah virus Flu Babi lebih menakutkan karena bisa menular tanpa adanya
kontak fisik sekalipun?. Fakta sudah membuktikan bahwa disaat ini
HIV / AIDS
sudah menjadi penyakit yang dapat dicegah dan diterapi maka
diharapkan perubahan perilaku penolakan, stigma dan diskriminasi akan dapat
dikurangi.
2. Stigma
HIV/AIDS masih berkutat pada masalah seks
Awalnya memang
perkembangan HIV / AIDS
dikalangan yang suka berganti-ganti pasangan, Homoseksual, dan Pekerja Seks
Komersial (PSK) cukup tinggi, tetapi itu terjadi pada tahun sekitar tahun 1970
hingga tahun 1980 an. Sehingga yang terjadi di masyarakat memberikan stigma
bahwa yang terkena HIV / AIDS biasanya juga dari kalangan homoseksual dan PSK.
Penularan melalui hubungan seksuallah yang digembar-gemborkan sebagai penyebab
utama penyakit HIV / AIDS sehingga kampanye penggunaan kondom dan safe sex pun
digalakkan dimana-mana.
Kampanye dan
konseling juga dilakukan pada kalangan yang dianggap beresiko tinggi terhadap
penyakit HIV / AIDS ini.
Bermunculan LSM dan lembaga-lembaga milik pemerintah yang menekankan perilaku
seksual sebagai penyebab utama penularan penyakit ini, dan ini masih
berlangsung hingga sekarang. Usaha-usaha yang telah dilakukan antara lain
adalah adanya Peer Konseling, Penyuluhan Kesehatan Reproduksi, Penyluhan
Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR), penyuluhan kepada organisasi yang menampung
para homoseksual, skreening kepada pada PSK, serta fokus – fokus lain yang
masih saja berkutat pada “seks”. Usaha – usaha ini sudah cukup berhasil menekan
penularan HIV / AIDS lewat transmisi
seksual.
3. Paradigma
baru pola transmisi HIV/AIDS yang didominasi oleh pengguna narkotika intavena
dan masalah yang terkait
Padahal saat ini
pola transmisi HIV / AIDS
lewat seksual sudah tergeser dengan pengguna narkotika intravena terinfeksi
HIV. Pada tahun 2002 saja, pengguna narkotika intravena terinfeksi HIV mencapai
50-78% dan 63% yang dirawat di UPIPI RSU Dr.Soetomo berlatar belakang pengguna
narkotika intravena. Begitu pula yang terjadi didunia, pergeseran ini sudah
merupakan hal yang global.
Yang menjadi masalah
yang baru adalah para pengguna narkotika intravena adalah kalangan yang
“eksklusif” tidak mudah untuk dijamah oleh orang-orang diluar kalangan mereka.
Masalah pertama adalah pengguna narkotika intravena ini tidak memiliki
wadah atau pengkoordinasi sebagaimana organisasi homoseksual atau
organisasi yang mewadahi para PSK. Sehingga kesulitan terjadi untuk mendata dan
memberikan konseling kepada orang-orang yang resiko tinggi dari kalangan ini,
dampaknya progresivitas pertumbuhan HIV/AIDS di seluruh dunia menjadi sangat
tidak terkontrol.
Masalah kedua, para
pengguna ini banyak berasal dari kalangan yang dianggap “orang
baik-baik” bahkan selebriti yang baru bisa terjamah setelah tertangkap
tangan menggunakan narkotika. Pembuktiannya seseorang menggunakan narkotika
saja cukup sulit, sehingga konseling juga jarang terjadi sebelum orang tersebut
ketahuan memakainya. Masalah ketiga, penggunaan narkotika intravena itu
adalah hal yang melanggar hukum sehingga tidak akan ada orang mau
dengan sukarela mengakui kalau menggunakannya meskipun diiming-iming akan
mendapatkan pemeriksaan dan konseling HIV/AIDS gratis. Pemeriksaan rutinpun
susah dilakukan pada kalangan ini, berbeda dengan para PSK yang berada
dilokalisasi yang bisa dilakukan pemantauan berkala dari pihak Puskesmas
terdekat.
PEMBAHASAN STIGMA HIV
/ AIDS
HIV/AIDS, sebuah kasus yang tidak lagi menjadi makanan baru
bagi masyarakat Indonesia. Layaknya penyakit kejadian luar biasa yang menjadi
perhatian akhir-akhir ini, kasus HIV/AIDS yang pertama kali muncul di Indonesia
pada tahun 1987 juga menjadi suatu hal yang menggemparkan dan fenomenal di
masyarakat. Ironinya, iklim kegemparan HIV/AIDS tidak menjadikan suatu motivasi
bagi masyarakat untuk menanggulangi penyebaran wabah ini di Indonesia.
Kegemparan tersebut justru melahirkan stigma di masyarakat terhadap penderita
HIV/AIDS atau yang biasa dikenal dengan istilah ODHA (Orang dengan HIV/AIDS).
Stigma terhadap ODHA dipengaruhi oleh faktor eksternal dan
faktor internal. Faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari lingkungan
penderita HIV/AIDS meliputi masyarakat dan media massa, sedangkan faktor
internal adalah faktor yang berasal dari penderita itu sendiri. Kedua faktor
tersebut interdependen, dalam arti baik faktor dari masyarakat, media massa,
maupun pribadi saling mempengaruhi satu sama lain.
Stigma dari masyarakat muncul akibat kurangnya pemahaman
masyarakat mengenai HIV/AIDS secara menyeluruh. Masyarakat mengetahui HIV/AIDS
sebatas “penyakit ini menular dan penderitanya berbahaya”. Masyarakat boleh
jadi telah mengenal atau mengetahui bahwa terdapat penyakit menular yang
disebut HIV/AIDS dan telah mewabah di Indonesia, namun sebagian besar
masyarakat masih belum memahami secara benar faktor penyebaran dan cara
penanggulangannya. Adanya ketidakpahaman ini menyebabkan timbulnya sikap over
protective terhadap ODHA, seperti diskriminasi dengan tidak mau bergaul
dengan ODHA dan stigma bahwa penderita HIV harus dihindari.
Pemahaman yang setengah-setengah dan tidak menyeluruh
tersebut timbul karena adanya disfungsi media massa. Media massa yang merupakan
sumber informasi bagi masyarakat masih memberikan informasi yang kurang jelas.
Pemberitaan yang muncul lebih didominasi bahaya HIV/AIDS dibandingkan upaya
untuk mencegah penyebarannya. Adanya pemberitaan yang kurang lengkap ini
menyebabkan masyarakat melakukan interpretasi yang salah dalam menyikapi kasus
HIV/AIDS. Dampak lebih lanjut dari pemberitaan media massa yang kurang
menyeluruh ini menyebabkan masyarakat terpengaruh secara mental untuk
mendiskriminasikan penderita HIV/AIDS.
Munculnya
stigma di masyarakat diperkuat dengan perilaku yang timbul dari ODHA yang
diakibatkan oleh masalah psikososial. Ketidakmampuan beradaptasi penderita
HIV/AIDS terhadap perubahan yang terjadi pada dirinya dapat mengakibatkan
stress, frustasi sampai ke tingkat depresi (Aminatun, 2003). Dampak tersebut
dapat dipengaruhi oleh kurangnya pengalaman dan keterampilan dokter yang
melakukan kontak langsung dengan ODHA sehingga dokter kurang tepat dalam
mengkomunikasikan berita tersebut kepada ODHA (Kaldor, 2000). Segala macam
faktor psikososial ini memperngaruhi tingkah laku ODHA sehingga mereka
cenderung memilih untuk menutup diri dari masyarakat. Hal tersebut justru
menambah stigma masyarakat dan memicu diskriminasi terhadap ODHA.
Stigma yang makin lama makin menguat tersebut memberikan
dampak yang semakin buruk bagi ODHA. Masyarakat justru tergiring untuk
mendiskriminasikan mereka dalam kehidupan sehari-hari. Berbagai fakta dapat
kita lihat di masyarakat seperti pemecatan ODHA dari perusahaan. Sebenarnya
tindakan ini menyalahi Keputusan Menakertrans No 68/2004 tentang Pencegahan dan
Penanggulangan HIV/AIDS di Tempat Kerja. Kejadian yang cukup ironi juga terjadi
di rumah sakit yang mana seharusnya rumah sakit adalah tempat acuan untuk
mengambil sikap terhadap ODHA. Seperti pengakuan salah seorang teman penderita
HIV/AIDS di Malang, Jawa Timur yang dikutip dari health.groups.yahoo.com, teman
yang menderita HIV/AIDS tersebut ingin melakukan operasi penyakit namun ditolak
oleh pihak rumah sakit karena ketidaksanggupan dokter dan pihak rumah sakit
untuk mengganti peralatan rumah sakit yang digunakan dalam operasi. Secara
implisit hal ini menunjukkan adanya diskriminasi terhadap ODHA.
Menyikapi kuatnya stigma dan diskriminasi dikarenakan kurang
mengertinya masyarakat tentang penularan HIV/ AIDS, maka diperlukan adanya
regulasi yang kuat. Pemerintah, LSM, dan aktivis AIDS hendaknya bekerja sama
sebagai suatu sistem yang sinergis untuk menanggulangi kasus HIV/AIDS. Sistem
tersebut bekerja sama mencerdaskan masyarakat secara menyeluruh mengenai HIV/AIDS
mulai dari faktor penyebaran, dampak, cara untuk menanggulangi, dan sikap yang
tepat dalam menyikapi HIV/AIDS.
Paradigma masyarakat yang salah tentang HIV/AIDS sesegara
mungkin harus diubah. Selama ini masyarakat menjauhi ODHA karena tidak
mengetahui cara penularan HIV/AIDS. Pada dasarnya terdapat tiga jalur utama
penularan HIV/AIDS. Penularan pertama yaitu melalui hubungan seksual. Apabila
salah satu pasangan mengidap HIV/AIDS maka secara otomatis HIV/AIDS akan
menular pada pasangan seksnya. Salah satu faktor pemungkin mewabahnya HIV/AIDS
yaitu makin bertambahnya jumlah penjaja seks dan pelanggannya. Dalam kaitannya
dengan hal ini, pemerintah adalah pihak yang bertanggung jawab dalam
melaksanakan upaya penanggulangan wabah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1984 tentang Penanggulangan Wabah Penyakit Menular. Pemerintah perlu
membuat regulasi yang tegas untuk mengamankan perilaku berisiko tinggi tersebut
dengan sosialisasi secara masif penggunaan kondom atau menutup praktik penjaja
seks itu sendiri. Penularan yang kedua yaitu melalui darah yang terinfeksi HIV.
Darah penderita HIV dapat ditularkan melalui transfusi darah, alat-alat bedah,
jarum suntik, alat cukur, dan alat-alat lain yang memungkinkan adanya kontak
darah. Dalam hal ini perlu adanya pengawasan yang cermat oleh PMI sebagai salah
satu pihak yang mengelola proses transfusi darah dan juga pelayanan kesehatan
lain seperti puskemas dan rumah sakit untuk mengindari adanya kontak darah.
Pengawasan juga dilakukan terhadap alat-alat kesehatan yang digunakan untuk
menghindari penggunaan alat tersebut lebih dari satu kali. Penularan ketiga
yaitu melalui ibu yang mengidap HIV. Seorang ibu yang mengidap HIV/AIDS dapat
menularkan HIV/AIDS kepada bayinya melalui plasenta.
Untuk mensosialisasikan hal tersebut, perlu adanya Gerakan
Nasional HIV/AIDS (GNHA). Upaya penanggulangan HIV/AIDS tidak cukup hanya
dengan penyuluhan secara sporadis dan insidental saja, namun perlu adanya
gerakan nasional dengan mengerahkan segala sistem yang ada pada masyarakat untuk
mendukung pengentasan HIV/AIDS di Indonesia. Dengan adanya Gerakan Nasional
HIV/AIDS (GNHA) yang berkelanjutan diharapkan mampu menyedot perhatian
masyarakat sehingga penanggulan HIV/AIDS dapat berjalan dengan maksimal.
Untuk mewujudkan tujuan tersebut, salah satu subjek yang
harus berperan aktif adalah media massa. Media massa diharapkan mampu
memberikan informasi yang up to date kepada masyarakat, tidak hanya
mengenai bahaya tetapi juga tentang penularan hingga pengobatan. Tentunya dalam
menjalankan peran ini media massa harus memperhatikan kode etik pers yang
berlaku. Tanggung jawab etik pers dalam liputan HIV/AIDS akan menyangkut sejauh
mana liputan tersebut tidak terjerembab pada sensasionalisme, vulgarisme, dan
stigmatisasi, dan berita yang tidak proporsional yang dengan mudah akan
menimbulkan “kepanikan sosial” (Siyaranamual, 1997). Media massa baik cetak
maupun elektronik sedapat mungkin menghindari pemberitaan yang cenderung
bersifat sensasional dan vulgar demi mengurangi stigma dan diskriminasi yang
muncul dari masyarakat.
Adanya sensasionalisme, vulgarisme, dan stigmatisasi dalam
liputan HIV/AIDS boleh jadi diakibatkan kurangnya keterampilan professional
dari dalam tubuh media massa (Siyaranamual, 1997). Untuk menyikapi hal
tersebut, maka diperlukan adanya spesialisasi dan profesionalisme dalam media
massa khususnya dalam bidang kesehatan. Wartawan maupun pekerja pers haruslah
memahami seluk beluk HIV/AIDS sehingga dapat mentransfer informasi yang benar
dan akurat kepada masyarakat serta menghindari pemberitaan yang bersifat dugaan
dan prasangka. Di samping itu, perlu diperhatikan pula pemberitaan dari sudut
pandang penderita HIV/AIDS. Hal ini bertujuan untuk mengurangi sensasionalisme
dan vulgarisme sehingga mampu mencegah munculnya stigma dan diskriminasi dalam
masyarakat.
Salah satu fungsi media massa yaitu sebagai sarana
pendidikan, tentunya harus diterapkan dalam pengentasan HIV/AIDS. Media massa
diharapkan mampu mengurangi gap antara informasi kesehatan dengan perilaku yang
ada di masyarakat. Melalui Gerakan Nasional HIV/AIDS (GNHA), optimalisasi peran
media massa dapat ditingkatkan. Setiap aspek media massa, baik cetak maupun
elektronik, memiliki trik dan teknik tersendiri dalam pemberian informasi
kepada masyarakat sehingga informasi tersebut tetap efektif untuk mencerdaskan
masyarakat. Salah satu faktor yang perlu digarisbawahi yaitu kejelasan sasaran
program intervensi tersebut. Media massa diharapkan tidak hanya menjangkau
masyarakat yang melakukan perilaku berisiko saja seperti penjaja seks dan
pelanggannya, namun juga seluruh lapisan masyarakat. Dengan adanya pencerdasan
mengenai fenomena HIV/AIDS, stigma dan diskriminasi terhadap ODHA diharapkan
dapat lenyap dan tergantikan oleh dukungan penuh dalam pengentasan HIV/AIDS.
Peran media massa tentu tidaklah menjadi sesuatu yang berarti
jika tidak mendapatkan dukungan yang penuh dari pemerintah. Dikeluarkannya Kep.
Pres RI Nomor 36 Tahun 1994 tentang Komisi Penanggulangan AIDS membuktikan
bahwa pemerintah turut pula berupaya dalam penanggulangan HIV/AIDS di
Indonesia. Namun, pembentukan KPA di tingkat nasional maupun daerah saja dirasa
tidaklah cukup. Perlu adanya badan independen semacam komisi khusus untuk
melayani konsultasi penderita HIV/AIDS. Komisi ini diharapkan mampu menampung
dan mengcover setiap permasalahan yang dirasakan oleh ODHA dalam kaitannya
dengan kondisi psikososial mereka. Komisi ini harus mampu bertindak proaktif
dan tidak hanya sekedar reaktif dalam mendampingi ODHA. Tujuan komisi ini
terpesifikasi khusus sebagai biro konseling yaitu memberikan pelayanan,
konsultasi psikologis, dan memotivasi proses perawatan HIV/AIDS. Dengan begitu,
ODHA diharapkan dapat semakin membuka diri pada masyarakat dan memacu dirinya
sendiri untuk dapat keluar dari stigma dan diskriminasi yang diberikan oleh
masyarakat.
Penghapusan stigma dan diskriminasi terhadap ODHA merupakan
salah satu bagian terpenting dalam Gerakan Nasional HIV/AIDS (GNHA). Dengan
penghapusan stigma dan diskriminasi, proses preventif dan kuratif terhadap
kasus HIV/AIDS menjadi lebih optimal. Untuk itu diperlukan adanya kerja sama
yang terus menerus dari masyarakat, media massa, pemerintah, dan ODHA secara
sistematis untuk menyukseskan Gerakan Nasional HIV/AIDS (GNHA) sehingga dapat
menghilangkan stigma dan diskriminasi dan pada tujuan akhirnya mengentaskan
Indonesia dari intaian wabah HIV/AIDS.
Saran dan Solusi
Saran
dan solusi yang diharapkan dalam program dukungan dalam stigma penderita HIV /
AIDS adalah sebagai berikut :
1.
Melibatkan
pemimpin lokal
Para pemimpin
lokal, termasuk pemimpin tradisional dan agama, administrator, perkumpulan perempuan,
pemuka masyarakat, wartawan, para guru dan lain-lain harus peka terhadap dampak
HIV/AIDS dan terhadap keadaan penderita yang rentan. Proses pemekaan ini
bertujuan untuk mendorong para pemimpin dan masyarakat mereka untuk mengambil
tindakan dalam upaya mendukung anak-anak yang terkena dampak dan upaya untuk
memantau mereka yang paling rentan, untuk memastikan bahwa penderita tersebut
berada di bawah pengawasan, di sekolah, untuk mengakses beberapa pelayanan yang
dibuthukan dan mewujudkan hak-hak asasi lainnya. Hal penting khusus lainnya
adalah memberi peringatan pada para pemimpin akan adanya resiko pelecehan
seksual dan pengeksploitasian yang sedang dihadapi penderita ini, dan akan
pentingnya upaya menciptakan suatu budaya untuk menolak perlakuan pelecehan dan
penanganan kekerasan secara efektif. Upaya peningkatan kesadaran ini memberi
perhatian yang lebih dibutuhkan bagi penderita yang rentan dan mendorong
tindakan terarah secara lokal dalam merespon kebutuhan yang telah
teridentifikasi.
2.
Mengajak
masyarakat untuk berbicara secara lebih terbuka tentang HIV/AIDS
Kurangnya
pengetahuan mengenai HIV/AIDS, penyampaian informasi yang salah dan sikap yang
negatif terhadap orang-orang yang hidup dengan HIV dan AIDS dapat merusak
kemauan suatu masyarakat untuk menyediakan beberapa kebutuhan mereka yang
terkena dampak penyakit ini. Sebagai pelengkap rasa kuatir mereka terhadap
penyakit ini, masyarakat menghubungkan AIDS dengan perilaku mereka yang tidak
dapat mengampuni dan mendiskriminasi mereka yang terjangkit. Di beberapa
tempat, rasa takut dan stigmatisasi telah menelantarkan penderita yang telah
positif terinfeksi HIV dan terkadang anak-anak yang menjadi yatim akibat AIDS
tidak mendapat pengasuhan. Informasi dapat membantu mengurangi stigma dan
diskriminasi seputar epidemi. Beberapa upaya untuk membuka suatu dialog
masyarakat mengenai HIV/AIDS dapat menghilangkan mitos, meningkatkan kesadaran
dan melahirkan rasa belas kasih. Anak-anak dan remaja merupakan partisipan
penting dalam proses ini. Klub remaja, kelompok keagamaan, sekolah dan struktur
masyarakat lainnya menawarkan peluang yang memungkinkan untuk penyebaran
informasi dan dialog.
3.
Mengatur
dan mendukung kegiatan-kegiatan yang kooperatif
Masyarakat
miskin memberikan beberapa contoh penggunaan sumber daya setempat yang tersedia
untuk membantu anak-anak dan rumah tangga yang menjadi rentan oleh HIV/AIDS.
Beberapa kelompok masyarakat dapat memberikan bantuan langsung pada penderita
tersebut. Mereka juga dapat membantu keluarga yang terjangkit AIDS untuk
memberikan kebutuhan dasar penderita pada keluarga mereka. Beberapa kegiatan
berhasil telah melibatkan peran masyarakat untuk memantau dan mengunjungi rumah
tangga yang terkena dampak penyakit ini; Beberapa program sukarela telah
menyediakan bantuan psikososial yang paling dibutuhkan; perkebunan bersama;
pelayanan pengasuhan penderita milik masyarakat; komunitas sekolah; ketentuan
pekerja lepas dan kelonggaran untuk mengasuh; pengumpulan dana untuk penyediaan
bantuan materi; pelindung masyarakat; dan organisasi keremajaan dan beberapa
program rekreasi. Sebagaimana di Malawi dan Uganda, beberapa kegiatan ini
sering diselenggarakan dan didukung oleh komite pembinaan masyarakat. Inisiatif
tingkat distrik yang berskala lebih luas serta beberapa program pembinaan
nasional dapat disesuaikan untuk mendukung beberapa upaya yang dilakukan.
Mengikutsertakan peran masyarakat untuk membawa beberapa upaya ini dalam suatu
skala akan membuat suatu perbedaan yang besar dalam kehidupan anak yatim dan
anak-anak yang rentan. Pendekatan ini akan memberi tambahan keuntungan untuk
meningkatkan suatu pengertian masyarakat akan identitas mereka sendiri serta kekuatan
mereka dalam mengatasi permasalahan mereka sendiri.
4.
Mempromosikan
dan mendukung kepedulian masyarakat terhadap penderita yang tidak mendapat
dukungan keluarga
Sebagian penderita,
paling tidak untuk sementara, tidak akan mampu untuk mendapatkan akses pengasuhan
berbasis keluarga dalam masyarakat mereka sendiri. Beberapa upaya diperlukan
untuk mengembangkan upaya pengasuhan (fostering). Peningkatan secara dramatis
akan kemampuan pengasuhan dalam masyarakat penderita itu sendiri merupakan
salah satu tantangan terbesar yang harus dihadapi. Sementara pemerintah bekerja
untuk mengembangkan pelayanan pengasuhan dan adopsi, masyarakat dapat
memberikan dukungan untuk meningkatkan kemauan keluarga untuk membawa penderita
mereka ke dalam rumah tangga angkat mereka, meskipun hanya untuk sementara.
Masyarakat dapat juga membantu memantau rumah tangga ini untuk untuk memastikan
bahwa para pengasuh baru ini dapat mengatasi kebutuhan yang meningkat dan bahwa
penderita tidak diperlakukan buruk dan tidak dieksploitasi.
Referensi :
Aminatun Siti, (2003), “Pengkajian tentang Wawasan
Masyarakat dalam Penanggulangan Masalah AIDS”, Yogyakarta: Departemen
Sosial RI.
Kamus Besar Bahasa Indonesia Online (2009), http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php,.
Kaldor John, (2000), Direktorat Jenderal Pemberantasan
Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman Departemen Kesehatan RI, “Penilaian
Eksternal tentang HIV/AIDS: Indonesia, November 1999”, Jakarta : Departemen
Kesehatan.
Komisi Penanggulangan AIDS, (2010), Mengenal dan Menanggulangi HIV – AIDS.
Komisi Penanggulangan AIDS, (2010), HIV – AIDS Infeksi Menular Seksual dan Narkoba.
Mukhotib MD., (2010), Wajah
– Wajah Yang Terlupakan (Missing Faces), PKBI Jawa Tengah.
Siyaranamual Julius R., (1997), “Etika, Hak Asasi, dan
Pewabahan Aids”, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
UNAIDS, (2004), Kerangka Kerja
Untuk Perlindungan, Perawatan Dan Bantuan Bagi Anak Yatim Dan Anak-Anak Yang
Rentan Yang Hidup Di Dunia Hiv Dan Aids.
UNAIDS, (2002), Joint United Nations Programme on HIV/AIDS,
et al., HIV/AIDS and Education: A strategic approach, Geneva.